PENDAHULUAN
Pakaian telah dikenal manusia sejak masa Prasejarah, yaitu sekitar 30.000 tahun yang lalu. Berdasarkan data arkeologi, Indonesia telah mengenal pakaian kurang lebih tahun 1000 SM tepatnya pada masa Neolitik. Pada masa itu, bahan pakaian terbuat dari lembaran kulit kayu, kulit binatang, serta rumbai-rumbai. Pakaian dari kulit kayu dibuat dengan cara dipukul memakai alat dari batu atau kayu sehingga menjadi tipis dan tidak kaku. Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, lambat laun pakaian menjadi bagian estetika penampilan manusia itu sendiri.
Dalam perkembangan tata busana, terdapat perbedaan yang sangat besar antara masyarakat di belahan dunia timur dan barat. Busana masyarakat di belahan bumi timur lebih bersifat statis karena terikat norma etnis, serta sangat dipengaruhi oleh pakem-pakem filosofis yang mengikat. Sementara itu, pada masyarakat di belahan dunia barat proses peradabannya lebih mengarah pada konseptual sehingga perkembangan tata busananya pun lebih berevolusi.
Pada masa Klasik ketika pengaruh budaya Hindu mulai memasuki bumi Nusantara, seni berbusana pun mengalami proses perkembangan. Namun dalam proses peradaban, karakter etnis Jawa memiliki pemahaman sendiri sesuai dengan pengaruh alam dan budaya lokal yang berkembang secara turun-temurun. Oleh karena itu, akulturasi antara karakter budaya Jawa dan pengaruh budaya Hindu menjadi kekayaan dalam proses perkembangan peradaban selanjutnya, termasuk dalam seni tata busana.
Hasil akulturasi seni busana tersebut antara lain dijumpai pada beberapa prasasti Jawa Kuno abad IX-XI Masehi, yang memuat jenis-jenis busana Jawa Kuno, seperti: dodot, kalamwi, wdihan, singhel, dan ken. Semuanya merupakan hasil cipta karya dan kreasi seni lilit dalam berbusana.
Masyarakat dan budaya Jawa cenderung hidup dalam kontemplasi terhadap alam dan filosofi, sehingga dalam hal cipta karya busana pun juga lebih menitikberatkan pada pemahaman-pemahaman makna hidup serta filosofi yang dianut.
Apabila kita menilik proses pembuatan bahan busana di daerah lain, maka kita akan melihat perbedaan yang mencolok dengan Jawa. Jika di daerah lain seni tenun lebih berkembang, maka di Jawa justru seni batiklah yang lebih berkembang. Disini jelas terlihat kebutuhan masyarakat Jawa akan suatu media yang sanggup mewadahi kreativitas seni yang filosofis, karena selain sebagai karya seni busana, batik juga menjadi media perenungan dan meditasi masyarakat Jawa.
Saat ini, busana dodot yang merupakan bagian seni batik, masih menjadi tradisi yang sangat kuat pada masyarakat Jawa. Dalam tulisan edisi ini, lebih lanjut kita akan memfokuskan pada pemaparan eksistensi dodot sebagai adibusana, terutama yang dipergunakan dalam upacara adat di Dinasti Mataram Islam.
SEJARAH DODOT
Busana tradisional Jawa merupakan salah satu wujud hasil proses akulturasi antara budaya lokal dengan pengaruh budaya Hindu Budha sejak masa Klasik. Seperti terlihat pada relief dan arca candi di Jawa serta dalam prasasti-prasasti Jawa Kuno abad IX-XI Masehi, dijelaskan bahwa pemakaian busana Jawa Kuno termasuk dodot pada zaman tersebut, didasarkan pada hirarki sosial tertentu. Para dewa yang termasuk dalam kasta tertinggi, mengenakan busana berupa kain panjang yang dililitkan, yang kemudian dikenal sebagai kain dodot. Jenis busana ini pada masa pengaruh budaya selanjutnya, yaitu budaya Islam yang masuk sekitar abad ke-15 Masehi ternyata tidak mengalami akulturasi dalam cara pemakaian. Bahkan dodot tetap ditempatkan sebagai busana kebesaran dilihat dari norma etika dan estetika yang tinggi. Busana dodot dari masa klasik sampai pemerintahan Mataram Islam khususnya masa HB VIII hanya dikenakan sebagai busana kebesaran raja dan kerabatnya.
Sebagai busana kebesaran tradisional masyarakat Jawa sejak masa Klasik, artefak kain dodot pada zaman tersebut tidak dapat ditemukan karena sifat kain yang sangat rapuh dan belum ada teknologi konservasi yang memadai. Oleh karena itu rekonstruksi sejarah dodot dilakukan melalui data karya sastra, prasasti, relief serta arca yang ada. Tulisan ini akan menguraikan dan menelusuri sejarah dodot dengan mengemukakan hasil riset, analisa, dan asumsi.
Sebagai salah satu jenis busana adat, dodot telah dikenal sejak masa Klasik. Dodot merupakan kain panjang yang dipakai terutama pada acara khusus yang berhubungan dengan nilai magis atau sakral.
Selain dodot, pada masa Klasik juga ada jenis pakaian lain yang telah digunakan, yaitu Kalamwi, Singhel, Wdihan, dan Ken. Jenis Kalamwi adalah baju yang dipakai pada bagian atas tubuh, biasanya dikenakan oleh raja atau kaum agama. Kaum agama mengenakan kalamwi pada saat upacara penetapan sima. Jenis pakaian ini lebih menyerupai kemben, yang dikenakan dengan melilitkan kain pada tubuh bagian atas. Pada arca Durga yang berasal dari Candi Singasari (akhir abad XIII Masehi), bentuk Kalamwi justru lebih menyerupai rompi.
Singhel merupakan sejenis pakaian yang digunakan untuk acara keagamaan, berupa kain yang dikenakan dengan cara dililitkan pada tubuh dengan salah satu ujung kain terjuntai ke bawah. Bagi masyarakat biasa, ada dua jenis pakaian yang dikenakan, yaitu wdihan atau bebed dan ken. Wdihan atau bebed merupakan selembar kain yang dikenakan dengan cara dilitit mulai dari pinggang sampai pergelangan kaki dan diperuntukkan bagi laki-laki. Sementara itu, Ken diperuntukkan bagi kaum perempuan, berupa selembar kain yang dililit. Jenis Ken diasumsikan sebagai “akar” munculnya kain panjang bagi wanita yang sampai saat ini menjadi kostum tradisional masyarakat Jawa.
Pada masa itu, kebutuhan akan bahan kain telah dapat dipenuhi sendiri, bahkan sudah ada aktivitas perdagangan. Pada masa Dinasti Mataram Kuno abad VIII-XI Masehi, sudah ada perdagangan ekspor impor antara Dinasti Mataram Kuna dengan negara luar yang disebutkan dalam berita Cina masa Dinasti Song. Barang komoditi yang diperdagangkan diantaranya adalah kain. Disebutkan juga bahwa penduduk Jawa telah memproduksi sendiri bahan kain dengan membudidayakan ulat sutera. Kain sutera yang dihasilkan diantaranya yaitu kain sutera halus, sutera kuning, dan kain dari katun. Dalam berita Cina tersebut juga disebutkan bahwa pada bulan ke-12 tahun 992 Masehi Sri Maharaja Rakai Halu Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmottunggadewa mengirim utusan ke Cina dengan membawa persembahan antara lain sutera yang disulam benang emas bermotif bunga-bunga, sutera berwarna-warni, barang-barang dari katun berbagai warna, dan sebagainya. Masyarakat Jawa pada masa itu juga mengimpor kain antara lain dari Kalingga, India. Kain-kain impor yang digunakan untuk konsumsi sendiri maupun untuk diekspor kembali antara lain adalah kain sutra.
Kembali pada dodot. Sebagai salah satu pakaian Jawa Kuno yang dikenal sejak masa Klasik, dodot dipercaya memiliki nilai sakral dan hanya dikenakan pada acara bersifat ritual di dalam kraton-kraton Jawa. Hal itu terus berlangsung hingga masa Islam bahkan berlanjut sampai saat ini. Kain dodot selalu dikenakan berlapis, dimana lapisan dalam yang merupakan kain yang dililit memiliki simbol sebagai penolak bala.
Sejauh ini data awal pemakaian kain dodot dapat dilihat pada temuan arca, prasasti, dan karya sastra. Data arca tersebut diantaranya: Siva Mahadewa di Candi Siwa Prambanan yang mengenakan dua lapis pakaian. Pakaian pertama berupa kain panjang dari pinggang sampai pergelangan kaki. Kain tersebut ditutup dengan kain kedua, sebatas lutut dengan pola hias Kawung dan kulit harimau. Arca Durga di Candi Siwa Prambanan juga mengenakan kain panjang dua lapis mulai pinggang sampai pergelangan kaki dengan lipatan-lipatan menyerupai wiru dan bermotif ceplok bunga.
Sementara itu dalam prasasti, penyebutan dodot antara lain dijumpai dalam Prasasti Keboan Pasar (I. B-II.a), bertahun 1042 Masehi, yang berisi:
......denira aji paduka mpungku ika um (ung) gu ring dharma Gandhakuti i? kamba? Çri, wka nira anganggwa payung, ....adodota tuñjung ijo.
Artinya:....beliau aji paduka Mpungku itu tinggal di pertapaan Gandhakuti di Kambang Sri, anak beliau membawa payung,....memakai dodot teratai hijau.
Penggunaan kain dodot juga disebutkan dalam karya sastra Kitab Arjunawiwaha tahun 1030 Masehi, yang menggambarkan para bidadari memakai dodot. Kitab sastra Kidung Panji Wijaya Krama pupuh IV dalam tembang Durma bait 124-125 juga menyebutkan tentang kain dodot yang dipersembahkan putri Kertanegara untuk tunangannya, yaitu Raden Wijaya. Dalam kidung ini, dodot dijelaskan lebih detail, yaitu berwarna madu masak dan bermotif hias berupa lotus putih di bagian tengah. Pada pembahasan selanjutnya akan dipaparkan tentang pakem motif dodot yang memiliki bagian yang disebut blumbangan, yaitu bagian tengah kain yang berwarna lain. Dalam hal ini motif lotus di atas menggambarkan pakem blumbangan.
Seiring dengan perkembangan zaman, ketika budaya Islam masuk dan kerajaan-kerajaan Hindu beralih menjadi kerajaan Islam, bidang seni pun mengalami perubahan sesuai dengan budaya Islam yang mulai berkembang. Perubahan tersebut tidak mutlak, dalam arti proses penerimaan pengaruh budaya luar dilakukan secara selektif dan ada juga sebagian yang ditolak karena tidak sesuai dengan kebudayaan lokal, tak terkecuali dalam seni tata busana. Seni tata busana serta pakem-pakemnya tidak mengalami perubahan, kecuali pada ragam hiasnya. Penggambaran ragam hias makhluk hidup pada masa Islam dilakukan dengan cara di-stilir. Hal ini dilakukan agar ajaran Islam yang tidak memperbolehkan penggambaran makhluk hidup dapat diterima masyarakat, sehingga mereka tetap dapat berkreasi dalam bidang seni.
Pada masa Klasik, proses kesenian cenderung menganut kosmologi dengan tujuan mencapai ketentraman. Namun demikian, karakter etnik Jawa tetap memegang peran dalam perkembangan seni dan budaya berikutnya. Proses pengaruh peradaban dan budaya yang pernah ada, menunjukkan bahwa pengaruh budaya baru tidak serta merta menghilangkan budaya lokal yang dianut sebelumnya. Tetapi akulturasi menjadi “penyaring” budaya Jawa itu sendiri, misal mereka tetap menganut konsep kosmologi dalam mengekspresikan seni, walaupun dalam budaya Islam tidak ada.
Sejalan dengan makin kuatnya pengaruh Islam dalam tatanan kehidupan masyarakat Jawa, istana tetap menjadi pusat peradaban. Raja pun memiliki kekuasaan untuk menentukan arah budaya. Segala bentuk seni dan budaya dengan estetika diatur oleh raja melalui pakem-pakem yang dikeluarkannya, termasuk tata cara dan etika busana. Salah satu busana kebesaran raja dan bangsawan adalah dodot yang telah digunakan sejak masa Klasik. Hingga saat ini, dodot tetap digunakan menurut pakemnya dan mengalami perkembangan dalam ragam motif hiasnya, yaitu melalui seni batik. Hal ini membuktikan bahwa busana dodot yang pada awalnya hanya tumbuh di dalam kraton sebagai busana adat, senantiasa terpelihara menjadi tradisi yang mengakar.
DODOT BAGIAN SENI BATIK
Dodot atau disebut juga dengan nama kampuh merupakan kain istimewa karena memiliki ukuran khusus, yaitu panjang antara 4,5 hingga 5 meter dan lebar dua kali kain batik (sekitar 2,20 meter). Di bagian tengah dodot dibuat blumbangan, yaitu motif belah ketupat berwarna putih, hijau, dadu, atau biru yang tepinya terdapat hiasan berupa motif batik cemungkiran, modang, atau lidah api. Blumbangan ini menyimbolkan filosofi air sebagai unsur kehidupan.
Kain dodot memiliki motif beragam yang dibuat dengan teknik batik. Batik telah menjadi bagian utama dari ragam corak kostum masyarakat Jawa yang berkembang sejak zaman Klasik. Ketika budaya Islam masuk, seni batik juga mengalami proses perkembangan yang diselaraskan dengan aturan Islam dan budaya Jawa.
Ketika etnis-etnis tertentu di belahan bumi Nusantara mengembangkan tenun dengan seni dan tradisi lokal, tenun di Kerajaan Mataram Islam (Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat) justru tidak dikenal sebaik tenun di luar Jawa, misal tenun Toraja, Palembang, Batak, dll. Tenun di Jawa dikenal dengan motif-motif lurik, yaitu motif tenun yang sangat sederhana, sering hanya berupa warna polos. Jenis tenun tersebut mewakili golongan rakyat biasa.
Berbeda dengan seni tenun, seni batik di Jawa justru mengalami perkembangan luar biasa. Sesuai dengan alam, watak, dan budayanya, masyarakat Jawa selalu membutuhkan olah rasa dan olah pikir dalam mengekspresikan suatu karya seni. Oleh karena itu, seni batik dirasa lebih sesuai dengan budaya Jawa. Melalui motif-motif batik, mereka dapat menuangkan dan mengekspresikan filosofi serta kepercayaan menyangkut nilai-nilai hidup.
Ragam motif batik telah muncul sejak zaman Klasik, hal tersebut dapat ditelusuri melalui kitab kesusastraan dan data-data artefak berupa arca serta relief. Pada relief Candi Siwa di dekat Dieng dan patung Manjusri di Semarang yang berasal dari abad IX Masehi, dapat dijumpai motif Lereng atau Liris. Motif Ceplok, dapat dijumpai pada Candi Banon dekat Borobudur abad IX Masehi, patung Siwa di Singasari abad XIII Masehi dan patung Budha di Candi Jago, Malang Jawa Timur. Sedangkan motif Sido-mukti, dapat dilihat pada patung Ganesa di Singasari abad XIII Masehi.
Pada masa itu, patung-patung dewa di dalam candi merupakan perwujudan raja yang telah meninggal dunia. Raja dipercaya sebagai titisan dewa, sehingga ketika meninggal, ia dipersonifikasikan dalam bentuk arca dewa yang dipujanya. Misal Ratu Tribhuwana-tunggadewi yang ketika wafat diarcakan sebagai Parwati di Candi Simping, JawaTimur.
Dari uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa pemakaian kain batik pada masa Klasik masih terbatas bagi bangsawan dan kaum agama saja. Hal itu juga berkaitan dengan motif hiasnya yang oleh masyarakat Jawa dipercaya mengandung makna filosofi sakral, sehingga tidak boleh dikenakan sembarang orang. Misalnya motif Parang, Kawung, dan Liris. Selain itu, motif-motif dalam batik biasanya tersusun dari beberapa ragam hias, antara lain: bangunan atau candi; gunung atau meru; atribut dewa seperti: cakra dan trisula; lidah api; flora berupa teratai, pohon hayat, atau suluran tumbuhan; fauna seperti kijang, garuda, burung, lar atau sawat.
Pada masa Klasik, motif-motif batik yang dibuat menyimbolkan harapan dan permohonan restu kepada para dewa. |
Ketika kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu-Budha berakhir dan digantikan kerajaan Islam, kain batik merupakan bagian dari tradisi dan budaya yang tetap dipertahankan serta dikembangkan. Salah satu kerajaan Islam yang menjadikan batik sebagai bagian budaya kraton adalah Kerajaan Mataram Islam. Mataram Islam mencapai kejayaannya di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, tahun 1613-1645. Selain berpolitik, Sultan Agung juga memiliki perhatian besar pada bidang seni, termasuk seni batik. Ia menerapkan penggunaan warna soga dan menyatakan beberapa motif batik sebagai motif larangan dan hanya boleh dipakai keluarga raja, diantaranya motif Parang Rusak dan Sembagen Huk. Adanya motif larangan berkaitan dengan adanya makna filosofi yang terkandung di dalam batik, karena motif-motif tersebut dibuat melalui proses meditasi ataupun puasa oleh para putri kraton. Aturan ini dipertegas dengan undang-undang yang dikeluarkan oleh raja. Selain itu, juga sebagai legitimasi seorang raja yang menganut konsep “Ratu Gung Binatara” dalam arti raja sebagai pusat segala-galanya. Sultan juga mulai mengenalkan seni busana resmi untuk acara-acara kerajaan, yaitu kain batik motif Parang dengan surjan dari batik berwarna biru dan putih.
Seni membatik terus berkembang, meskipun terjadi Perjanjian Giyanti tahun 1755 yang membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Seni batik dari kedua kerajaan ini mengalami proses perkembangan menuju ciri masing-masing. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat cenderung lebih mempertahankan kebudayaan yang digariskan Sultan Agung, yang lebih dikenal dengan istilah “gaya Mataraman”. Sedangkan seni batik Kasunanan Surakarta Hadiningrat lebih terbuka dengan pengaruh budaya luar, walaupun tidak meninggalkan pakem-pakem leluhurnya.
Dalam hal corak, batik gaya Yogyakarta cenderung memiliki latar berwarna putih terang atau coklat tua dan terkesan gagah. Sementara, batik gaya Surakarta dominan berwarna coklat kekuningan atau sogan dengan corak yang lebih lembut dan beragam. Meskipun masing-masing daerah memiliki gaya ataupun corak yang berbeda, akan tetapi tradisi penggunaan kain dengan cara dililit tidak berubah. Pemahaman bahwa dodot adalah kain sakral yang hanya dikenakan pada acara sakral dan khusus tetap bertahan.
DODOT SEBAGAI ADIBUSANA
Mengingat bahwa pada mulanya dodot hanya dikenakan oleh raja, bangsawan, serta pengiringnya pada acara yang bersifat magis dan sakral, layaklah jika dodot juga disebut sebagai adibusana bagi masyarakat Jawa. Sebagai busana kebesaran, dodot pun diciptakan sesuai dengan pakem yang berlaku untuk menunjukkan kewibawaan Sang Raja.
Selain penggunaan busana dodot, kemegahan seorang raja juga ditampilkan melalui motif-motif batik yang dikenakan. Motif tersebut biasanya termasuk dalam “motif larangan”, antara lain motif Parang Barong yaitu motif yang hanya boleh dikenakan oleh raja, permaisuri, serta putra mahkota. Para bangsawan dan pengiring raja mengenakan dodot dengan motif berbeda, sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
Berkaitan dengan kesakralannya, dodot juga dikenakan oleh para penari Bedhaya. Berpijak pada Perjanjian Giyanti tahun 1755, masing-masing kraton memiliki tarian pusaka, yaitu tari Bedhaya Semang untuk Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang mengenakan dodot motif parang barong dan tari Bedhaya Ketawang untuk Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang mengenakan dodot motif alas-alasan. Pada dasarnya kedua tari pusaka tersebut memiliki tema yang sama yaitu penggambaran pernikahan antara P. Senopati, raja Mataram dengan Gusti Kanjeng Ratu Kidul.
Konon, pada zaman Kerajaan Mataram Islam, Ratu Kidul adalah ratu yang dihormati oleh rakyat Mataram sebagai penguasa Laut Selatan, yang hadir untuk melatih sendiri para penari Bedhaya Ketawang. Dalam kehadirannya, Ratu Kidul selalu digambarkan mengenakan dodot dengan motif Bangun Tulak. Dia hadir untuk melatih tari Bedhaya Ketawang setiap hari selama tiga bulan. Dari mitos tersebut selanjutnya dipercaya bahwa Ratu Kidul hadir kembali pada setiap hari Selasa Kliwon ke Istana Mataram untuk melihat karya ciptaannya tersebut ditarikan. Mungkin berawal dari penggambaran Ratu Kidul di atas, maka para penari Bedhaya juga mengenakan busana seperti yang dikenakan Ratu Kidul, yaitu busana lengkap dengan kain dodot. Kostum yang sama juga dikenakan oleh pengantin putri Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Menurut adat kraton, tari Bedhaya merupakan pusaka sehingga hanya boleh ditarikan oleh para gadis yang masih perawan dan dalam keadaan suci. Sementara itu, Bedhaya Semang di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sampai pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII (1921) ditarikan oleh para pangeran yang dirias seperti penari wanita. Motif dodot yang dikenakan para penari tersebut adalah parang barong. Jika motif dodot yang dikenakan oleh penari Bedhaya Ketawang dan pengantin Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah sama yaitu alas-alasan, maka berbeda dengan di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Motif parang barong yang dikenakan oleh penari Bedhaya Semang justru menjadi motif larangan untuk dikenakan pengantin. Motif dasar dodot yang digunakan oleh pengantin Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah Semen Rama yang merupakan penggambaran epos Ramayana dari India.
Ramayana berasal dari kata Rama dan Ayana. Rama adalah seorang putra mahkota Kerajaan Ayodya yang merupakan titisan Dewa Wisnu. Sedangkan Ayana berarti perjalanan. Dari pengertian tersebut, maka Ramayana diartikan sebagai kisah Rama yang melakukan perjalanan. Dikisahkan bahwa Rama diperintahkan oleh ibu tirinya untuk pergi mengembara ke hutan selama 14 tahun. Selama perjalanannya tersebut, ia ditemani istrinya Sinta dan adiknya yang bernama Lesmana. Suatu saat Sinta diculik oleh raja raksasa bernama Rahwana yang tertarik pada kecantikan Sinta. Ketika Sinta dibawa terbang ke istana Rahwana, tiba-tiba muncul burung Jatayu, sahabat Rama yang berusaha menyelamatkan Sinta. Namun Jatayu kalah dan jatuh ke bumi.
Sebelum meninggal, ia berusaha mencari Rama, dan berhasil. Ia pun menceritakan penculikan Sinta oleh Rahwana. Mendengar hal tersebut, Rama segera menyusul ke istana Alengka untuk membebaskan istrinya. Dalam usahanya tersebut, ia dibantu tentara kera yang dipimpin Hanoman. Sinta pun berhasil dibebaskan. Namun, Rama sangsi dengan kesetiaan sang istri. Ia lalu menyuruh Sinta membuktikan bahwa dirinya tetap suci, tidak tersentuh Rahwana. Mendengar perintah tersebut, Sinta sangat bersedih hati. Sang suami tidak mempercayainya lagi. Ia pun terjun ke dalam api, namun berhasil selamat karena dirinya tetap suci.
Berdasarkan kisah Ramayana tersebut, maka penggunaan motif Semen Rama dimaksudkan agar pasangan suami istri saling setia seperti Rama Sinta. |
Sebagai penggambaran kisah tersebut, maka dalam kain dodot motif Semen Rama dilukiskan ornamen-ornamen yang mewakili suasana hutan dan peristiwa penculikan Sinta, yaitu:
Tumbuhan | : | berbentuk tunas, kuncup bunga, pohon hayat (sebagai lambang kemakmuran) |
Iber-iberan | : | hewan yang dapat terbang, yaitu kupu, burung |
Lidah api | : | menggambarkan api suci tempat Sinta membuktikan kesuciannya |
Asrama/rumah | : | lambang kesejahteraan |
Kijang | : | lambang senapati Alengka yang menyamar untuk mengelabui Sinta agar keluar dari garis sakti Rama. Kijang dalam arti sesungguhnya adalah hewan yang gesit, menyimbolkan seorang wanita supaya senantiasa cakap dalam mengurus rumah tangga |
Sayap Jatayu | : | perjuangan Jatayu untuk membebaskan Sinta dari cengkeraman Rahwana. Saat berperang di angkasa, Jatayu kalah oleh tebasan pedang Rahwana sehingga sayapnya patah |
Meru | : | menggambarkan gunung, lambang tempat tinggal para dewa |
Beteng Alengka | : | tembok kokoh yang mengelilingi istana Alengka. Dengan segala daya upayanya, Rama mampu menembusnya untuk menyelamatkan Sinta |
Sementara itu, dodot pengantin dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat bermotif Alas-alasan. Disebut demikian karena ornamen yang menghiasnya terdiri dari aneka satwa dan tumbuhan yang ada di rimba raya. Beberapa ornamen dalam dodot Alas-alasan, masing-masing memiliki makna, yaitu:
Garuda | : | merupakan motif yang paling tinggi kedudukannya, dipercaya sebagai kendaraan Dewa Wisnu, dewa pemelihara alam semesta, sekaligus sebagai simbol matahari. Dalam konsep dewa raja, raja diposisikan sebagai titisan Dewa Wisnu, sehingga kendaraannya pun disejajarkan dengan Wisnu. Maka garuda dipercaya dapat meninggikan kedudukan raja yang sedang berkuasa. |
Kura-kura | : | dipercaya merupakan lambang dunia bawah (bumi). Dalam agama Hindu, kura-kura merupakan perwujudan Dewa Wisnu yang diharapkan dapat menjalankan tugas menjaga bumi bila bersatu dengan istrinya, yaitu Dewi Sri (Dewi Kesuburan). |
Ular | : | simbol perempuan dan menjadi bagian dari konsep kesuburan, hujan, dan samudra. Sementara itu, Naga sebagai ular dewa merupakan lambang air dan bumi yang dalam wataknya disimbolkan sebagai Dewi Sri. |
Burung | : | lambang dunia atas, menggambarkan unsur udara dan watak luhur. Kadangkala, burung merupakan lambang nenek moyang atau simbol kendaraan yang digunakan roh menuju Tuhannya. Sehingga burung dapat diartikan sebagai lambang manusia yang akan selalu kembali kepada asalnya, yaitu Tuhan sang pencipta. |
Meru/gunung | : | menurut paham Indonesia kuno, gunung merupakan unsur bumi dan tanah. Pada kebudayaan Jawa Hindu, puncak gunung adalah tempat bersemayamnya para dewa. |
Pohon Hayat | : | simbol kesatuan dan ke-Esaan Tuhan Pencipta alam semesta. |
Ayam Jantan | : | simbol keberanian, tanggung jawab. |
Kijang | : | simbol kelincahan, kebijaksanaan dalam mengambil tindakan dan keputusan. |
Gajah | : | kendaraan raja, simbol kedudukan luhur, kekuatan, harapan agar menjadi manusia sempurna. |
Burung Bangau | : | harapan agar memiliki umur panjang & menolak bahaya dan harapan mendapat keselamatan. |
Harimau | : | keindahan dan kewibawaan serta tangguh dalam menghadapi lawan. |
Kawung | : | tersusun dari 4 bulatan, yang diinterpretasikan sebagai lotus (teratai) dengan 4 lembar daun bunga yang sedang mekar. Bunga Lotus simbol kesucian dan umur panjang. Kawung diibaratkan kedudukan raja yang menjadi pusat kekuasaan mikro kosmos sejajar dengan dewa sebagai pusat kekuasaan makro kosmos. |
Sebagai busana kebesaran, pemakaian dodot memerlukan suatu keahlian tersendiri. Dari selembar kain yang sangat lebar tersebut, dibuatlah lilitan-lilitan hingga akhirnya tercipta busana yang agung. Bagian-bagian dari busana “Dodotan” untuk laki-laki terdiri dari amparan, lumajang, kepuh, konca, moga, kamus, timang, dan lerep. Amparan yaitu bagian dodot yang dipegang tangan kiri setiap kali jalan dan merupakan kepanjangan sudut atau konca sebelah kiri, yang menjuntai ke bawah. Lumajang merupakan sisa dari kepanjangan sudut atau konca sebelah kanan yang menjuntai ke bawah dan jatuh di samping bagian belakang amparan bila dipegang pengantin. Bagian dodot ini selalu disatukan dengan amparan dan dipegang setiap kali jalan. Kepuh merupakan lipatan bagian dodot, bentuknya mirip kantong, terletak di atas tepi dodot dan dibuat dengan cara menyelipkannya ke dalam dodot. Konca adalah sudut dodot kanan kiri yang dipertemukan di bagian belakang menutupi pantat dan menjuntai ke bawah. Moga seperti bara api tetapi berukuran kecil dan berjumlah dua buah. Terletak di bagian belakang sebelah kanan, tepat di bawah keris dan diselipkan di bawah kamus. Kamus merupakan sabuk yang dibuat dari kain dan dihias atau disulam. Timang dan Lerep adalah pasangan kamus. Timang terletak di tengah, sedangkan lerep disampingnya (sebelah kanan timang). Kemudian dipasang keris Branggah dari arah kanan belakang ke kiri. Pada keris dilingkarkan rangkaian bunga Sri Taman.
Berbeda dengan dodot laki-laki, bagian dodot wanita meliputi sangga pocong, wala, tlale (belalai), slepe, udet, jengil. Songgo pocong merupakan gulungan sisa kampuh yang digulung dan diletakkan melingkar di atas pantat, sementara itu sisa gulungan jatuh di samping kanan yang disebut Tlale. Wala merupakan bagian lipatan kampuh yang dibentuk sedemikian rupa melingkar dari belakang ke bagian pinggang kiri sehingga membentuk lipatan-lipatan drapperi. Setelah sempurna bentuk lilitan kain dodot maka dikenakan Udet, melilit pinggang menjuntai di bagian tengah depan. Baru di atas udet dikenakan slepe, yang merupakan ikat pinggang terbuat dari logam. Bagian simpul hiasan dari udet disebut jengil, terletak di atas udet dan dihiasi dengan bros.
Sebagai busana lilit, pemakaian dodot tentu membutuhkan kecermatan dan keahlian khusus. Ukurannya yang sangat besar yaitu 2,5 kali ukuran kain biasa, tentunya membutuhkan teknik khusus untuk menata dan memakainya, supaya bisa
menyatu dengan tubuh dan menampilkan keanggunan dan wibawa si pemakai. Selain itu, pemakaian busana dodot juga memperhatikan unsur keindahan dan etika, hal itu ditunjukkan dengan pengenaan kain Cinde sebagai lapisan dalam sebelum mengenakan kain Dodot. Untuk wanita, kain Cinde dililitkan mulai dari batas pusar sampai pergelangan kaki, sedang kain Dodot dikenakan mulai dari dada sampai pergelangan kaki. Sementara itu untuk laki-laki, kain Cinde dipakai terlebih dahulu dengan model celana panjang, sedang Dodot dipakai mulai batas pusar sampai lutut serta ada bagian kain sebelah kiri yang terjuntai ke bawah. Menurut sejarah riwayatnya, Cinde disebut juga kain Patola. Terbuat dari bahan sutera dengan teknik tenun ikat ganda. Ada sekitar 10 corak dasar yang umumnya berupa ragam hias fauna, flora, dan geometris. Kain ini berasal dari India Barat dan dianggap sakral. Demikian juga di Jawa, kain Cinde hanya boleh digunakan kalangan bangsawan pada upacara-upacara khusus.
Rangkaian tata cara pemakaian dodot tersebut terkesan sangat rumit, namun menciptakan penampilan yang agung berwibawa sekaligus anggun. Maka dodot sebagai salah satu hasil olah pikir dan olah rasa pun sangatlah pantas bila menjadi adibusana masyarakat Jawa, yang hanya dikenakan pada acara yang bersifat ritual dan seremonial. |
Tradisi pemakaian busana dodot sejak zaman Klasik hingga saat ini masih terpelihara dengan baik, walaupun hanya terbatas dalam acara-acara khusus maupun upacara atau ritual tertentu di kraton. Nilai kesakralan dan magis serta kandungan makna filosofinya yang dalam, menjadi alasan utama bagi para pemakainya. Dipercaya segala doa dan harapan mereka yang ingin dicapai dapat terwujud melalui simbol-simbol yang ada dalam rangkaian busana dodot yang adiluhung tersebut. Semua bagian dari rangkaian busana dodot termasuk asesoris dan tata rias wajah mengandung makna filosofi yang dalam.
Sebagai adibusana yang hanya dikenakan pada acara yang bersifat ritual dan seremonial, serta telah menjadi adat turun temurun sejak masa Klasik, hingga saat ini pemakaian dodot tetap menjadi norma adat yang mutlak diterapkan dan dijunjung tinggi. Hal ini terlihat dalam acara-acara dan ritual khusus di dalam lingkup Dinasti Mataram Islam yang masih eksis hingga sekarang, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
ADAT PEMAKAIAN DODOT DI KRATON SURAKARTA DAN YOGYAKARTA
Di Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dodot menjadi bagian dari kostum yang dikenakan dalam acara Pasamuan Ageng yang disebut Ageman Basahan. Pada dasarnya, dalam acara ini kaum pria mengenakan kostum kebesaran yang terdiri dari : dodot atau kampuh, baju, tutup kepala atau kuluk, sabuk, dan celana panjang. Rangkaian kostum tersebut dilengkapi dengan keris atau wedhung (senjata memiliki panjang 60 cm, dengan sarung). Sedangkan kaum wanita menggunakan kain panjang, kampuh atau dodot, udhet (sampur), wedhung, perhiasan, kain penutup dada, dan sebagian ada yang memakai baju.
Khusus untuk raja, rangkaian busana kampuh yang dikenakan terdiri atas: kampuh Balenggen Blumbangan, dan celana panjang motif Cinde. Secara umum, kampuh dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni kampuh Balumbangan dan kampuh lugas. Pada kampuh balumbangan, bagian tengahnya diberi warna polos atau disisipi sutera, pelangi, dan seterusnya, sementara itu kampuh lugas tidak memiliki tengahan.
Pada masa pemerintahan Paku Buwana X dikenal empat macam kampuh, yaitu: conthokan, klembrehan, kedhedheran, dan sembongan. Bentuk kampuh laki-laki yang lain yaitu grebong Kadhem (buat raja), sampir kunca, kepuh sampir, dan kepuh ukel. Sebelumnya, Paku Buwono VII telah membedakan busana dodot untuk para putri dan abdi dalem putri menjadi empat bentuk yaitu: ngumbar kunca, sampuran, conthokan, dan sembongan. Khusus putri dan permaisuri mengenakan bentuk sampuran, sedangkan bentuk sembongan dikenakan para wanita yang lebih rendah derajad kebangsawanannya. Yang membedakan keduanya adalah sampuran tidak memakai lipatan, sedangkan sembongan memakai lipatan.
Sementara itu, di wilayah dinasti Mataram lainnya yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat juga memiliki busana kebesaran yang lazim disebut busana Keprabon. Busana ini khusus digunakan oleh raja, permaisuri, para putra Sultan, saudara-saudara Sultan, dan para pejabat tinggi pada saat upacara ageng. Termasuk dalam upacara ageng yaitu Upacara Supitan, Perkawinan, Garebeg, dan Tingalan Dalem Tahunan, Jumenengan Dalem, Agustusan, serta Sedan (pemakaman jenasah raja).
Jenis busana Keprabon untuk pria terdiri dari busana Dodotan, busana Kanigaran, dan busana Kaprajuritan. Busana Dodotan meliputi beberapa kelengkapan, yaitu kuluk biru dengan hiasan mundri (nyamat), kampuh konca setunggal, celana cinde gubeg, moga renda berwarna kuning, pethat jeruk sak ajar, rante, karset, kamus, timang (kretep), dan keris branggah.
Berkaitan dengan upacara perkawinan, busana Dodotan atau kampuhan yang dikenakan calon pengantin pria untuk upacara ijab agak berbeda. Pada saat itu pengantin pria mengenakan celana putih, kuluk biru (untuk putra dalem) atau kuluk putih (untuk bupati mantu dalem), moga putih, kampuh dengan tengahan (untuk putra dalem), nyamat dari bunga cengkeh, memakai sumping bunga melati, serta wedung dan keris branggah.
Sementara itu, busana Kanigaran pada dasarnya sama dengan busana Dodotan, hanya saja busana Kanigaran dilengkapi dengan baju Sikepan bludiran dan Kuluk kanigara. Kuluk Kanigara biasa digunakan pada upacara Agustusan, Tingalan dalem tahunan, dan Supitan sebagai busana sang penganthi. Kelengkapan busana Kanigaran meliputi kampuh dengan tengahan, moga renda berwarna kuning, celana cinde, kamus, timang, rante, karset, pethat, keris branggah, serta mengenakan Cenela.
Mulai pemerintahan Sultan HB VII tahun 1877-1921, diberlakukan peraturan tentang tata cara adat berbusana Keprabon sesuai dengan hirarki status sosial. Peraturan tersebut kemudian ditegaskan lagi pada masa Sultan HB VIII dalam bentuk Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Karaton Nagari Ngajogjakarta Hadiningrat. Putra mahkota (Pangeran Adipati Anom), pada upacara Ageng akan mengenakan kampuh Parang Rusak Barong, baju sikepan bludiran dengan ornamen penuh dari punggung ke dada hingga batas pinggang. Memakai kuluk Kanigara, celana Cinde Gubeg, kretep (timang dan permata), mengenakan rante karset, cenela, bros, dan keris branggah. Di atas telinga dikenakan sumping mangkara yang dibuat dari emas berlian. Paman Sultan yang bergelar Kanjeng Panembahan dan putra sulung Sultan, mengenakan kuluk biru atau Kanigara, kampuh dengan tengahan, celana cinde gubeg, moga, rante, karset, timang, bros, serta keris branggah.
Putra Dalem lainnya, yang lahir dari permaisuri berhak mengenakan Kampuh Blenggen Parang Rusak Gendreh seperti yang dikenakan para garwa ampeyan (istri selir) Sultan, para pangeran sentana, putra dari putra mahkota, dan patih Dalem. Untuk putra dari ampeyan boleh memakai kampuh Parang rusak gendreh atau ukuran yang di bawahnya. Bagian tengahan kain kampuh untuk putra Dalem memakai warna pilihan yaitu hijau, dadu, biru muda disesuaikan dengan warna batik yang bernuansa coklat putih dan biru nila.
Ketika masa pemerintahan HB VIII, para bupati mendapat ijin memakai kampuh dengan tengahan yang semula hanya dikenakan oleh para pangeran. Namun ada perbedaan dalam cara pemakaiannya. Bupati memakai kampuh den melipat salah satu ujung konca, sedang para pangeran membiarkan kedua ujung konca terurai ke bawah.